PENDAHULUAN
A. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami sehingga revisi makalah ini selesai tanpa ada halangan sesuatu apapun. Makalah ini dibuat sebagai wujud rasa peduli kami pada dunia pendidikan dan sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Pendidikan Agama Islam” Dalam proses pendalaman materi Syariat Islam ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada :
1. Ayah Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada anak anaknya. Sungguh segala darma baktiku tidak layak disejajarkan dengan ketulusan mereka berdua.
2. Teman-teman di kampus UMP terimakasih atas saran dan diskusinya
3. Dan kepada teman-teman yang tak mungkin bisa saya sebutkan satu persatu saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Semoga Allah SWT membalas amal perbuatan kita semua dan mengampuni dosa-dosa yang sudah kita perbuat. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik konstruktif dari semua pihak sangat kami harapkan. Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.
Purwokerto, 12 Juni 2011
Penyusun
B. Pengertian Syari’at Islam
Syari’at Islam merupakan aturan hukum yang ditetapkan Allah untuk kemaslahatan ummat manusia. Hukum atau peraturan dalam menjalankan dan mengamalkan agama Allah termasuk syari’at Islam. peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada manusia, baik hubungannya terhadap Allah, maupun hubungan terhadap sesama manusia, alam dan kehidupan.
Hukum secara umum belum mutlak dinamakan Syari’at Islam dalam era modern. Sebab hukum yang bersumber dari Allah (seperti Syari’at Islam) dinamakan hukum samawi, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia disebut hukum wadh’i. Syari’at Islam sebagai hukum samawi berlaku mutlak sedangkan hukum wadh’i sifatnya berlaku relatif hanya berdasarkan kepada kepentingan dan kebutuhan manusia dalam masa-masa tertentu.
Menurut etimologi, Syari’at berarti al-thariqah al-sunnah; atau jalan dan juga dapat diartikan sumber mata air yang hening bening. Sedangkan pengertian/ta’rif menurut terminologi/istilah yang umumnya dipakai oleh para ulama salaf, dalam memberikan batas pengertian syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup dan ketetapan hukum yang digariskan oleh Allah SWT Secara lengkap batasan tersebut adalah “Hukum yang disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang telah didatangkan para Nabi-Nabi baik berhubungan dengan cara menyebutkannya, yang dinamai fa’riyah amaliyah, yang untuknya-lah didewakan ilmu fiqih maupun yang berhubungan dengan itiqad yang dinamai ashliyah ‘itiqadiyah yang untuknya-lah didewakan ilmu kalam dan syara itu dinamai pula Addin dan Millah”
Syari’ah dinamakan Ad-Din memiliki pengertian bahwa ketetapan peraturan Allah yang wajib ditaati. Ummat harus tunduk melaksanakan ad-Din (syari’at) sebagai wujud ketaatan kepada hukum Allah. Ad-Din dalam bahasa Arab berarti hukum. Syari’ah dinamakan Al Millah mempunyai makna bahwa agama bertujuan untuk mempersatukan para pemeluknya dalam suatu perikatan yang teguh. dapat pula bermakna pembukuan atau kesatuan hukum-hukum agama.
Syari’ah sering juga disebut syara’, yaitu aturan yang dijalani manusia, atau suatu aturan agama yang wajib dijalani oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun kelak diakhirat. Menurut kamus bahasa Indonesia pengertian syari’ah adalah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama Islam, palu memalu, hakekat balas membalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat) “.
Istilah teknis dalam bahasa Inggris “Canon law of Islam; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap perintah Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam. Oleh karena itu, syari’at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini.
Syari’at secara umum adalah segala aturan hukum yang diwahyukan kepada para nabi berupa kitab suci seperti : Taurat, Zabur, injil dan Al-Qur’an, maupun berupa syari’at yang disampaikan kepada para nabi yang tidak berupa kitab/tidak dibukukan sebagai kitab yang mempunyai nama, misalnya syari’at Nabi Adam, syari’at Nabi Ibrahim maupun nabi-nabi yang lainnya yang diwahyukan kepada mereka untuk membentengi ummat dimana mereka diutus.
Syari’at Islam adalah peraturan/ hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah/hadist nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh nabi termasuk juga bagian dari syari’at Islam.
Syari’at meliputi di dalamnya semua tingkah laku manusia, yang disandarkan pada wahyu Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam perkembangan hukum Islam dikenal ijtihad hal disandarkan kepada Fiqih yang di dalamnya termuat hukum hasil kecerdasan mengistimbatkan satu nilai hukum. Di dalam fiqih didapati suatu tindakan sah atau tidak sah, boleh atau tidak, sedangkan di dalam syari’at didapati tindakan hukum boleh dan terlarang, harus diakui bahwa syari’at dan fiqih mempunyai perbedaan, tetapi dalam perkembangannya para ulama tidak terlalu prinsipil membedakannya.
Terkait dengan susunan tertib Syariat, Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 36 yang berbunyi : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. Ayat ini mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain.
Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah ayat 101 yang berbunyi :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. Ayat inilah yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang masuk dalam kategori Furu’ Syara’.
1. Asas Syara’ : Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari’at Islam di mana Al Quran itu Asas Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di manapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
2. Furu’ Syara’ : Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan atau perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
C. Sumber Dan Dasar Syariat
Secara garis besar sumber dan dasar syariat Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dari kedua sumber tersebut dijadikan dasar oleh para sahabat, tabiin, tabiit tabiin, ulama dan para fuqaha untuk mengambil keputusan hukum. Dalam perkembangan hukum atau ilmu fiqih untuk mengambil satu keputusan yang tidak didapati di dalam sumber (Al-Qur’an dan sunnah) maka diperkenankan berijtihad.
Menurut penyelidikan para ahli fuqaha dalil-dalil syari’at secara global .berpangkal kepada empat pokok yaitu: Al-Qur’an, Al-sunnah, Al-ijma’ dan Al-qiyas oleh jumhur ulama disepakati sebagai dalil hukum amaliyah. Selain dalil tersebut masih dikenal dalil lainnya yang senantiasa dipergunakan oleh para ulama dalam mengambil keputusan yaitu: istihsan, maslahat mursalah, saddus zari’ah, istishab dan Al-Urf. Semua dalil-dalil tersebut dijadikan sebagai sumber fiqh Islam.
Al-Qur’an merupakan kitabullah yang diwahyukan kepada baginda Nabi besar Muhammad saw dalam bentuk lafadz dan maknanya. Al-Qur’an adalah sumber syariat Islam yang tidak perlu diragukan keberadaannya. Di dalam Al-Qur’an banyak di temui firman Allah yang menjelaskan keberadaan Al-Qur’an pada Surat Al-Baqarah ayat 2 yang artinya:“Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Qur’an surat An-Nahl ayat 102 yang artinya:“Katakanlah ruhul kudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Qur’an Al-Israa’ ayat 105 :”Dan kami turunkan (Al-Qur’an ) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran”.
Al-Qur’an tidak akan diragukan akan keberadaannya sepanjang masa oleh karena ada jaminan Allah s.w.t.Qur’an surat Al-Hijir ayat 9 :“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.
Sumber kedua yang dijadikan syari’at Islam adalah sunnah Rasulullah. Dalam kalangan ulama membedakan dalam pengertian sunnah dan hadist, batasan keduanya dapat di lihat dari pendapat Prof. Dr. TM. Hasbih Ash-Shiddieqy Hadist ialah : segala peristiwa yang disandarkan kepada nabi, walau hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi dan walaupun hanya diriwayatkan seorang saja. Sunnah ialah : Nama bagi amaliyah yang mutawattir, yakni cara rasul melaksanakan sesuatu ibadat yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawattir pula. Menurut ulama hadist, tidak membedakan pengertian sunnah dan hadist. Sunnah dan hadist adalah merupakan wujud dari kepribadian rasulullah dalam memberikan teladan kepada umatnya. Keberadaan hadist sebagai sumber syari’at Islam sudah sangat jelas kedudukannya seperti yang di ungkapkan oleh pakar hadist.
Hadist sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Pada zaman Nabi (w. 632M ), umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur’an.
Di dalam Al-Qur’an dipertegas oleh Allah swt bagaimana kedudukan Rasulullah (sunnah) yang patut diikuti:“….Apa yang di berikan Rosul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya ; dan apa yang di larang bagimu, maka hendaklah kamu meninggalkanya….(Q.S. Al-Hasyr : 7):“Barang siapa mentaati Rasul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (Q.S. An-Nisaa’; 80): “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan ( kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (Q. S. Al- Ahzab : 21 )
Kedudukan sunnah Rasulullah saw. telah dipertegas oleh Rasulullah dalam salah satu sabdanya yang Artinya “Barang siapa yang tidak suka akan sunnahku maka ia bukan dari golonganku. ( H. R. muttafaq’Alaih)”.
Al-Qur’an dan sunnah Rasul merupakan syari’at terlengkap yang menjadi syari’at ummat Islam. Al-Qur’an telah dijamin oleh Allah swt kesempurnaannya dan sunnah telah dipertegas oleh Rasulullah keberadaannya. Penegasan Allah swt tantang kesempurnaan syari’at Islam (agama Islam) telah difirmankan dalam Al-Qur’an :“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan aku telah mencukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agamamu. (QS. Al-Maidah: 3)
Sabda Rasulullah memberikan peringatan kepada umatnya untuk senantiasa berpegang teguh pada syari’at Islam (Al-Qur’an dan al-Sunnah) “Kutinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi apabila kamu berpegang kepadanya, niscaya tidaklah kamu tersesat, yaitu : Al-Qur’an dan teladanku”.
Di samping Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama syari’at Islam, masih diperkenankan berijtihad untuk mengambil keputusan hukum apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti riwayat Mua’adz tatkala diutus oleh Rasulullah untuk menjadi Qadhi di Yaman: yang artinya “Bagaimana engkau memberikan keputusan hukum, ketika dihadapkan kepadamu suatu kejadian?, Mu’adz menjawab: saya akan memberikan keputusan dengan hukum Allah swt. (Kitabullah). Nabi bertanya: Jika kamu tidak dapati dalam Sunnah Rasul-Nya?, Mu’adz menjawab : aku akan berijtihad dengan pendapatku. Maka Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda: segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang Rasulullah merasa puas itu”.
Dalil-dalil hukum lainnya yang dipegang oleh ulama Ushul secara singkat teruraikan sebagai berikut:
1. Ijma’ menurut istilah ulama Ushul kesepakatan semua ijtahidin atas sesuatu hukum pada suatu masa sesudah Rasulullah. Firman Allah swt, yang erat hubungannya
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu. (QS. An-Nisa: 59). Tidaklah mungkin para ulama berkumpul untuk melakukan sesuatu kebohongan (dusta). Rasul bersabda yang artinya “Tidaklah Allah menghimpun ummatku untuk melakukan kesesatan. (H.R. Ibnu Majah)”
2. Qiyas menurut ulama ushul menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan kejadian lain yang sudah diatur oleh nash, karena adanya persamaan antara keduanya yang disebut “Illah hukumnya”.
3. Istihsan adalah merupakan kebalikan dari Qiyas, karena istihsan memindahkan hukum suatu peristiwa dengan hukum peristiwa lainnya yang sejenis dan memberikan hukum lain karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut.
4. Maslahat Mursalah, terdiri dari dua rangkaian kata yaitu: Mashalat (kebaikan, kepentingan) yang tidak diatur oleh ketentuan syara yang menggunakan pertimbangan kebaikan akan sesuatu keputusan di ambil dengan melihat kemaslahatan yang akan timbul dan Mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan.
5. Sadduz zari’ah yaitu menutup segala jalan yang akan menuju pada perbuatan yang merusak atau mungkar.
6. Istihsan yaitu melanjutkan atau menggunakan sesuatu kaidah hukum yang ada sampai dalil atau kaidah hukum lain menggantikannya.
7. Al-‘Urf adalah sesuatu apa yang biasa dijalankan orang, merupakan kebiasaan baik dalam kata-kata maupun perbuatan keseharian. ‘Urf ialah suatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya. Baik berupa perbuatan maupun adat kebiasaan yang baik dalam masyarakat.
Qaidah-qaidah hukum di luar dari Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan dasar bagi para fuqaha/ulama dalam mengambil keputusan untuk menetapkan suatu hukum. Kalau Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama Syari’at Islam maka qaidah-qaidah hukum atau fiqih seperti diuraikan di atas merupakan sumber atau dalil hukum yang dapat dipengaruhi untuk mengambil keputusan bilamana keputusan yang dimaksud tidak didapati pada Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.
Syariat Islam mempunyai peranan dan fungsi untuk mengatur dan menata kehidupan manusia, mengarahkan kepada jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah swt. tujuan Syari’at Islam adalah mengatur dan menata kehidupan untuk kebahagian dan kemaslahatan manusia baik sewaktu hidup di atas dunia fana ini, maupun kelak di negeri akhirat harus dijalankan Syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup yang hakiki dan sebagai aturan perundang-undangan yang maha lengkap, mengantar manusia ke pintu kebajikan dan menutup pintu kesesatan.
D. Tujuan Syariat Islam
Menurut Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, MA: Diturunkannya Syariat Islam kepada manusia tentu memiliki “tujuan” sangat mulia. Paling tidak, ada “delapan” tujuan.
1. Memelihara Kemaslahatan Agama (hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)..” QS. Al-Baqarah:256. Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” QS. An-Nisaa 48. “Barang siapa mengantikan agamanya (murtad), maka bunuhlah ia.” Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih, “…Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29). Hadits Nabi saw, riwayat Imam Bukhari dari ibn Abbas ra. Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
2. Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum Qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” QS. Al-Baqarah:178. Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini: “Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” QS. Al-Baqarah:178. Menurut “Kamus Istilah Agama Islam, hukum qishash (hukum pembalasan) tidak dapat dilakukan oleh anak kepada ayahnya, oleh budak kepada majikannya, oleh orang kafir kepada orang beriman (HR Bukhari Muslim). Dengan adanya Syariat Islam, maka jiwa orang beriman akan terpelihara.
3. Memelihara Akal (hifzh al-‘aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya” QS Al-Baqarah:219. Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.
4. Memelihara Keturunan dan Kehormatan (hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah jelas ditentukan siapa-siapa yang boleh dinikai, dan siapa yang tidak boleh di nikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini: “..maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai, dua atau tiga, atau empat orang, akan tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil maka (nikahilah) satu orang saja” QS An-Nisaa: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu” QS. Al-Baqarah:221. “Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” QS. An-Nur : Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5. Memelihara Harta Benda (hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” Al-Maidah:38. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
6. Melindungi kehormatan seseorang
Termasuk melindungi nama baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi kehormatannya di mata orang lain dari upaya pihak-pihak lain melemparkan fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan.
Karena itu betapa luarbiasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk cambuk atau “Dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An Nuur, 24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat. Dan bagi mereka azab yang besar” (QS. An Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk kita berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama mukmin (QS. Al Hujurat, 49:12).
7. Melindungi rasa aman seseorang
Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).
8. Melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara
Islam menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih oleh ummat Islam “dengan cara yang Islami”.
Bagi mereka yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, digantung atau dipotong secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi SAW menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.
E. Kesimpulan
Syari’at Islam adalah peraturan atau hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah atau hadist nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh nabi termasuk juga bagian dari syari’at Islam. Jadi seyogyanya kita sebagai umat Islam harus menerapkanya didalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Minhajuddin, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh (Ujung Pandang: Fakultas Syariah IAIN Alauddin, 1983), h. 3.
2. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 986.
3. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 8.
4. MT. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), h. 39-40.
5. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 3.
6. M. Syuhudi Ismail, Sunnah Menurut Para Pengingkarnya dan Upaya Melestarikan Sunnah oleh Para Pembelanya (Ujung Pandang: Berkah, 1991), h. 1.
7. H.A. Razak dan H. Rais Lathief, Tarjamahan Hadis Shahih Muslim, Jilid I (Jakarta: Pustaka Al-Husnah, 1984) h. XXVI.
8. Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh) (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 20.
9. Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Edisi Revisi (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 2-3.
10. Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 17-18.