Makalah Antropologi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah makhluk sosial, artinya dalam hidupnya, manusia memerlukan kerjasama dengan orang lain. Sejak manusia lahir ke dunia mereka membutuhkan bantuan dan hubungan orang lain agar mereka dapat tetap hidup (survival). Hal ini berbeda dengan beberapa makhluk lain yang dikaruniai kemampuan untuk terus hidup walaupun tanpa bantuan induknya. Manusia dalam hidup di masyarakat diharapkan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam hidupnya, seperti: memudahkan dalam mencari pekerjaan, berinteraksi dengan manusia lain, dan memiliki wawasan budaya lokal daerah setempat agar tidak punah. Dalam berinteraksi di masyarakat, manusia dipengaruhi oleh nilai, aturan (norma), budaya, serta kondisi geografisnya terhadap perubahan perilakunya.
Pada hakekatnya pendidikan merupakan proses transformasi nilai dan kebudayaan dari generasi satu kepada generasi berikutnya, karena itu proses pendidikan akan terkait erat dengan latar belakang budaya tempat proses pendidikan berlangsung. (D. M. Brooks: 1988). Dengan demikian fungsi pendidikan sangat penting dalam melestarikan budaya dan menjadikan manusia berperilaku sesuai dengan nilai, norma, dan budaya lokal, sehingga manusia masih memiliki wawasan budaya setempat tanpa harus melupakan budaya aslinya. Secara tidak langsung pendidikan berbasis budaya lokal akan mempengaruhi pola pikir dan membentuk manusia seutuhnya.
Praktik di lapangan, bahwa kurikulum pendidikan mencerminkan sentralisasi. Sentralisasi kurikulum pendidikan merupakan cerminan akan kurangnya penghayatan pentingnya landasan antropologi dalam pendidikan secara mendalam, khususnya kurikulum ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Disatu pihak, setralisasi kurikulum akan memudahkan pembakuan proses belajar, namun tanpa memperhatikan latar belakang budaya daerah, keluaran pendidikan tersebut tidak akan terserap kembali ke dalam masyarakat. Adanya kebijakan dan upaya pengembangan kurikulum sekolah merupakan salah satu perwujudan akan pentingnya tinjauan latar sosial
antropologi dalam pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penyusun akan membahas secara lengkap tentang landasan antropologi dalam pendidikan di masa yang terdahulu sampai saat ini. Tujuannya agar pendidikan di Indonesia tetap memahami keanekaragaman budaya setempat dan tidak menghilangkan nilai luhur, norma, serta etika dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat di jabarkan rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana landasan antropologi pendidikan di Indonesia?
2. Apa pengaruh antropologi terhadap lingkungan dan masyarakat?
3. Apa manfaat landasan antropologi dalam pendidikan?
4. Bagaimana implikasi landasan antropologi dalam pendidikan?
5. Bagaimana aplikasi landasan antropologi dalam pendidikan saat ini?
6. Apa pengaruh landasan antropologi terhadap perubahan kebijaksanaan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan tujuannya yaitu :
1. Untuk mengetahui landasan antropologi pendidikan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh antropologi terhadap lingkungan dan masyarakat.
3. Untuk mengetahui manfaat landasan antropologi dalam pendidikan.
4. Untuk mengetahui implikasi landasan antropologi dalam pendidikan.
5. Untuk mengetahui aplikasi landasan antropologi dalam pendidikan saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Antropologi Pendidikan
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial (wikipedia). Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung sistem penjajahan atas negara-negara diluar Eropa, dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan-pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat. Landasan antropologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah antropologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh : perbedaan kebudayaan masyarakat di berbagai daerah (misalnya: sistem mata pencaharian, bahasa, kesenian, dsb).
Sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat luas cakupannya, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna. Demikianlah maka antropologi dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan para ahli Antropologi masing-masing mengkhususkan diri pada spesialisasi sesuai dengan minat dan kemampuannya untuk mendalami studi secara mendalam pada bagian-bagian tertentu dalam antropologi. Dengan demikian, spesialisasi studi antropologi menjadi banyak, sesuai dengan perkembangan ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih mamahami sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih banyak.
Antropologi secara garis besar dipecah menjadi 2 bagian yaitu antropologi fisik/biologi dan antropologi budaya. Tetapi dalam pecahan antropologi budaya, terpecah – pecah lagi menjadi banyak sehingga menjadi spesialisasi – spesialisasi, termasuk antropologi pendidikan. Seperti halnya kajian antropologi pada umumnya antropologi pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan.
Dari pengertian sosiologi yang dipaparkan di atas pendidikan yang berlandaskan antropologi khususnya di Indonesia sangat dibutuhkan karena keadaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu suku bangsa dengan adat-istiadat, kebudayaan dan bahasa yang beragam tentu pendidikan tidak dapat dipisahkan dari latar antropologi. Namun, pada kenyataanya kurikulum yang digunakan di Indonesia saat ini masih terkesan bersifat sentral. Sentralisasi kurikulum pendidikan merupakan cerminan akan kurangnya penghayatan pentingnya landasan antropologik dalam pendidikan secara mendalam, khususnya kurikulum ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Di satu pihak, sentralisasi kurikulum akan memudahkan pembakuan prosesi belajar, namun tanpa memperhatikan latar belakang budaya daerah keluaran pendidikan tersebut tidak akan terserap kembali ke dalam masyarakat. Adanya kebijakan dan upaya pengembangan kurikulum muatan lokal pada kurikulum sekolah merupakan salah satu perwujudan akan pentingnya tinjauan latar sosial antropologik dalam pendidikan (Soedomo, 1990).
B. Pengaruh Antropologi Terhadap Lingkungan dan Masyarakat
Perbedaan geografis mencakup perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh faktor geografis seperti letak daerah, misalnya: pantai, daerah pegunungan, daerah tropis, daerah sub tropis, daerah subur, daerah tandus, dan sebagainya.
Sebagai contoh, pengaruh daerah sub tropis terhadap pola kerja manusia akan berbeda dengan daerah tropis. Pada daerah sub tropis ada musim dimana manusia kurang/tidak dapat bekerja secara penuh, terutama pada musim dingin, sehingga keadaan ini memaksa manusia daerah sub tropis untuk mempersiapkan cadangan makanan untuk musim dingin. Demikian pula masyarakat di daerah gersang akan terpaksa bekerja lebih keras untuk mempertahankan hidupnya dibandingkan dengan daerah subur.
Perbedaan-perbedaan tersebut melahirkan pula perbedaan kebudayaan, baik dalam wujud ide-ide, pola, tingkah laku maupun kebudayaan. Di daerah subur seperti di Indonesia, dimana manusia tidak perlu berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya, dimana sumber-sumber alam relatif mudah diambil, membuat manusia juga bermurah hati terhadap sesamanya, sehingga bila ada seorang warga masyarakat yang mengalami kekurangan, orang launn dengan mudahnya membantu orang yang menderita tersebut. Karena itu terutama di pedesaan, dimana kebutuhan hidup dari alam sekitar relatif lebih mudah didapatkan, perasaan gotong-royong antar warga masyarakat sangat tinggi. Sebaliknya di daerah perkotaan dimana manusia harus berusaha lebih keras untuk mempertahankan hidupnya, maka perasaan gotong-royong itu makin menipis, dan perasaan individualitasnya lebih tinggi.
Makalah Antropologi